Sabtu, 27 Februari 2016

Sendratari Ramayana

Sendratari Ramayana merupakan sebuah pertunjukkan yang menggabungkan tari dan drama tanpa dialog yang mengangkat cerita Ramayana. Sendratari Ramayana menceritakan kisah tentang usaha Rama untuk menyelamatkan Sinta yang diculik oleh Rahwana. Sendratari Ramayana merupkan salah satu media dalam menyajikan wira carita atau epos Ramayana, media lain seperti seni sastra,seni rupa, dan berbagai seni pertunjukkan.

Sendratari mengutamakan gerak-gerak penguat ekspresi sebagai pengganti dialog, sehingga dengan sendratari di harapkan penyampaian wiracarita Ramayana dapat lebih mudah di pahami dengan latar belakang budaya dan bahasa penonton yang berbeda. Penampilan cerita Ramayana dalam bentuk seni pertunjukkan tari terdapat di berbagai Negara antara lain Kamboja, Srilanka, Thailand, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Indonesia, dan India.


 Sendratari Ramayana di Indonesia pertama kali di pentaskan pada 26 Juli 161 di panggung terbuka Candi Prambanan. Pertunjukan pertama kali ini di gagas oleh Letjen TNI (purn) GPH Djati Kusumo yang pada bulan April 161 membentuk tim proyek untuk membangu panggung terbuka di depan Candi Prambanan. Panggung terbuka yang di rancang Harsoyo dari Universitas Gadjah Mada berukuran panjang 50 meter, lebar 12 meter ini memiliki tempat duduk sampai 3.000 buah. Proyek Sendratari Ramayana koreografinya di tangani oleh Soerjohamidjojo dan Soeharso, melibatkan 865 orang yang terdiri dari penari, penabuh gamelan, dan perancang busana.
Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan ini serupa dengan yang terpahat pada Candi Prambanan. Seperti yang banyak diceritakan, cerita Ramayana yang terpahat di candi Hindu tercantik mirip dengan cerita dalam tradisi lisan di India. Jalan cerita yang panjang dan menegangkan itu dirangkum dalam empat lakon atau babak, penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta.
Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak tari yang dibawakan oleh para penari yang rupawan dengan diiringi musik gamelan. Anda diajak untuk benar-benar larut dalam cerita dan mencermati setiap gerakan para penari untuk mengetahui jalan cerita. Tak ada dialog yang terucap dari para penari, satu-satunya penutur adalah sinden yang menggambarkan jalan cerita lewat lagu-lagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang khas.
Cerita dimulai ketika Prabu Janaka mengadakan sayembara untuk menentukan pendamping Dewi Shinta (puterinya) yang akhirnya dimenangkan Rama Wijaya. Dilanjutkan dengan petualangan Rama, Shinta dan adik lelaki Rama yang bernama Laksmana di Hutan Dandaka. Di hutan itulah mereka bertemu Rahwana yang ingin memiliki Shinta karena dianggap sebagai jelmaan Dewi Widowati, seorang wanita yang telah lama dicarinya.
Untuk menarik perhatian Shinta, Rahwana mengubah seorang pengikutnya yang bernama Marica menjadi Kijang. Usaha itu berhasil karena Shinta terpikat dan meminta Rama memburunya. Laksama mencari Rama setelah lama tak kunjung kembali sementara Shinta ditinggalkan dan diberi perlindungan berupa lingkaran sakti agar Rahwana tak bisa menculik. Perlindungan itu gagal karena Shinta berhasil diculik setelah Rahwana mengubah diri menjadi sosok Durna.
Di akhir cerita, Shinta berhasil direbut kembali dari Rahwana oleh Hanoman, sosok kera yang lincah dan perkasa. Namun ketika dibawa kembali, Rama justru tak mempercayai Shinta lagi dan menganggapnya telah ternoda. Untuk membuktikan kesucian diri, Shinta diminta membakar raganya. Kesucian Shinta terbukti karena raganya sedikit pun tidak terbakar tetapi justru bertambah cantik. Rama pun akhirnya menerimanya kembali sebagai istri.

Tak hanya tarian dan musik saja yang dipersiapkan. Pencahayaan disiapkan sedemikian rupa sehingga tak hanya menjadi sinar yang bisu, tetapi mampu menggambarkan kejadian tertentu dalam cerita. Begitu pula riasan pada tiap penari, tak hanya mempercantik tetapi juga mampu menggambarkan watak tokoh yang diperankan sehingga penonton dapat dengan mudah mengenali meski tak ada dialog.
Tak hanya bisa menjumpai tarian saja, tetapi juga adegan menarik seperti permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat. Permainan bola api yang menawan bisa dijumpai ketik Hanoman yang semula akan dibakar hidup-hidup justru berhasil membakar kerajaan Alengkadiraja milik Rahwana. Sementara akrobat bisa dijumpai ketika Hanoman berperang dengan para pengikut Rahwana. Permainan api ketika Shinta hendak membakar diri juga menarik untuk disaksikan.
Di Yogyakarta, terdapat dua tempat untuk menyaksikan Sendratari Ramayana. Pertama, di Purawisata Yogyakarta yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur Kraton Yogyakarta. Di tempat yang telah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2002 setelah mementaskan sendratari setiap hari tanpa pernah absen selama 25 tahun tersebut. Tempat menonton lainnya adalah di Candi Prambanan, tempat cerita Ramayana yang asli terpahat di relief candinya.



Upacara Adat Bathok Bolu



Upacara Adat Bathok Bolu Alas Ketonggo merupakan pagelaran seni sekaligus kirab budaya yang dilangsungkan oleh warga Sambiroto untuk menyambut datangnya bulan Sura (kalender jawa). Sebelum kirab yang dilangsungkan pada malam hari dimulai, akan ditampilkan fragmen sendratari.
Bathok Bolu adalah sebuah nama yang digunakan untuk menamai kawasan atau wilayah khusus di dusun Sambiroto. Penamaan Bathok Bolu mengandung makna bahwa daerah atau kawasan itu terlihat biasa-biasa saja atau tidak menampakkan sesuatu yang istimewa, tetapi di situ ada sesuatu yang sangat berharga yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat atau bias memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat seperti halnya madu yang dibutuhkan oleh kebanyakan orang. Kawasan Bathok Bolu diyakini oleh masyarakat Sambiroto maupun masyarakat di luar Sambiroto mengandung sesuatu yang berharga yang akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Sambiroto khususnya,dan masyarakat pada umumnya. Secara historis, kawasan Bathok Bolu semula merupakan makam dua sesepuh Dusun Sambiroto, yaitu Ki Demang Ranupati dan Yang Guru. Keduanya adalah tokoh karismatik yang membuka kawasan hutan Sambiroto yang disebut Alas Ketonggo yang kemudian menjadi sebuah dusun yang dinamai Sambirotosekarang ini. Keduanya semula adalah pelarian dari Kraton Mataram yang kemudian bertapa di hutan (alas ketonggo) di kawasan ini untuk mendapatkan kesaktian yang akhimya keduanya meninggal di kawasanini dan dimakam kandi tempat ini juga.
Kawasan Bathok Bolu kini merupakan kawasan terpencil dari rumah-rumahwarga di Dusun Sambiroto Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi Dusun Sambiroto berada pada posisi sudut barat laut desa Purwomartani dan merupakan daerah yang berada pada perbatasan sisi barat desa Purwomartani dan desa Wedomartani. Kawasan Ritual Bathok Bolu dapat dibagi ke dalam dua wilayah yaitu wilayah yang disakralkan keberadaannya dengan wilayah yang tidak mengandung muatan sakral (keramat) atau wilayah profan (biasa). Oi areal yang disakralkan itu terdapat tempat untuk bersemedi dan rumah pondok kecil sebagai tempat beristirahat untuk melepas lelah atau berbincang-bincang antar sesama para peziarah. Oi sekitar Joglo Kraton (Kraton Jin) juga dikelilingi dengan tanam-tanaman yang mengandung khasiat sebagai obat-obatan. Batas dengan kawasan luar kawasan inti dipertegas dengan pagar tembok di sekelilingnya. Sekarang ini Bathok Bolu menjadi kawasan budaya religious yang memiliki pengaruh budaya dan keagamaan bagi masyarakat di sekitarnya. Aktivitas rutin yang dilakukan oleh masyarakat di Bathok Bolu adalah ziarah ke makam Oemang Ranupati dan Yang Guru pada malam Selasa Kliwon dan malam Jum'at Kliwon untuk mendapatkan berkah (ngalap berkat) agar tujuan-tujuan yang diinginkan berhasil. Oi samping ziarah ke makam itu, pengunjung terkadang juga melengkapinya dengan mandi di Sendang Ayu dan menyepi (bersemedi) di Kraton Jin. Tujuannya sarna, yakni untuk ngalap berkat. Untuk kelancaran melayani masyarakat yang berziarah di kawasan ini, ditunjuk penjaga Bathok Bolu yang sering disebut "juru kunci" yang rumahnya berdekatan dengan lokasi. Sekarang ini dibuatkan rumah jaga (semacam kantor) untuk juru kunci tersebut. Juru kunci ini dijabat secara turun-temurun. Di samping aktivitas rutin di kedua malam itu, secara rutin di setiap awal bulan Sura (Muharram) selalu diadakan pentas seni budaya Bathok Bolu yang biasanya berlangsung selama delapan hingga sepuluh malam, dimulai dari tanggal I Sura hingga 10 Sura dalam hitungan tahun Jawa atau tahun hijriah (Islam). Pada acara pentas seni budaya ini ditampilkan beberapa seni pertunjukan rakyat. Sekarang acara ini lebih dikenal dengan nama Pentas Seni Budaya Bathok Bolu Alas Ketonggo. Mulai tiga tahun terakhir acara pentas seni budaya ini dilengkapi dengan acara Kirab yangbentuknya seperti Kirab Sekaten di Kraton Yogyakarta padatanggal 12Mulud(RabiulAwwal). Tradisi yang secara rutin dilakukan di Bathok Bolu adalah berziarah di makam sesepuh Sambiroto di Bathok Bolu. Tojuan pokok ziarah di tempat ini adalah untuk mendapatkan berkat dengan melangsungkanserangkaian prosesi ritual (semedi). Orang yang melakukan semedi dan melangsungkanritual "permintaan"di Bathok Bolu harus melalui beberapa proses tahapan sebagai persyaratan. Pertama, dengan membeli 9 wama jajan pasar yang berupa buah-buahan,seperti: mentimun, pisang, kacang, salak, dan lainnya. Buah-buahan ini sebagai media atau suatu symbol "persembahan"untuk membukakomunikasidengan ratujin Bathok Bolu, dalam bahasa Ki Juru Kunci dengan sebutan mbah buyut arwah para /e/uhur. Setelah proses acara selesai, biasanya buah-buahan itu dimakan bersama oleh mereka yang berada di lokasi itu. Kalau ada sisanya, biasanya diserahkan kepada keluargajuru kunci. Kedua, setelah tersedia 9 wama buah-buahan tersebut, sebelum upacara ritual dimulai orang yang sedang punya hajat terlebih dahulu harus bersiram air di Sendang Ayu, apakah dengan mandi atau sebatas cuci muka. Baru setelah dua proses tahapan itu selesai acara ritual itu dimulai, biasanya orang yang sedang berhajat memintajuru kunci itu memimpinproses ritual. Kawasan Bathok Bolu juga diyakini sebagai tempat kerajaan ratujin. Ratujin itu bemama Raden Ayu Sekarjoyokusomo.
Ratu jin inilah yang terlibat komunikasi secara intensif dengan para pendiri kerajaan Mataram, seperti Pangeran Senopati atau Ki Gede Pemanahan. Berdasarkan cerita tutur masyarakat sekitar lokasi maupun para pengunjung dijelaskan pula bahwasanya ketika para pendiri Mataram bermaksud mendirikan kerajaan, mereka juga terlebih dahulu bersemedi, berkomunikasi secara spritual dengan yang ghaib di kawasanBathok Bolu ini. Dari hasil observasi dan wawancara dengan para pengunjung dan juru kunci kawasan ritual Bathok Bolu terungkap beberapa faktor dari motivasi orang yang melakukan kunjungan atau semedi ke tempat tersebut. Berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya, mulai dari sesuatu yang benar-benar bermakna sakral, yakni membangunrelasi batin dengan kekuatan yang ghaibagar dapat memperoleh spritualitas bagi "kesempumaan" hidup, sampai yang semata-mata keperluan profan (tidak sakral). Keduanya terkadangjuga saling bertemu secara tumpang tindih antara yang sakral dan yang profan, yang duniawi dan yang ukhrawi.
Tradisi-tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa seperti yang ada di Sambiroto memiliki nilai budaya yang tinggi, karena sangat terkait dengan budaya spiritual mereka, yakni ada unsur-unsur keagamaan yang terkait di dalamnya. Berbagai budaya yang mereka lestarikandan mereka lakukan tidak sematamata untuk mempertahankanbudaya nenek moyang mereka yang adi luhung,tetapi mereka juga melakukan ritual keagamaan dengan tujuan-tujuan tertentu seperti yang diyakini oleh para pengunjung kawasanritual BathokBoludi atas.

Tradisi bersih dusun yang mereka lakukan di bulan Sura (biasa disebut Suran) juga memiliki makna budaya seperti itu. Dalam bersih dusun selalu diadakan pentas wayang yang diyakini memiliki makna khusus.Wayang dijadikan sarana untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang mereka guna dimintai pertolongan dan perlindungan. Pertunjukan wayang ini dilakukandi malam hari, mengingat dalam keyakinan mereka pada saat itu roh sedang berkeliaran sehingga mudah membangun komunikasi dengan roh-roh tersebut (SuwamoImam,2005: 2).
Karena sekarang ini yang menyelenggarakan tradisi Surandi Bathok Bolu banyak masyarakat yang menganut Islam, acara-acara di dalamnya banyak diisi dengan ritual-ritual Islam. Karena itu, kesenian-kesenian yang ditampilkan banyak menyuarakan pesan pesan Islam. Bahkan di akhir atau di awal perayaan Sura ini diadakan mujahadah dan pengajian yang tujuan utamanya adalah bermunajat kepada Allah Swt. sambil memohon kepada-Nya demi keselamatan, ketentraman, dan kemakmuran masyarakat Sambiroto dan masyarakat sekitamya.
Dalam pandangan agama, khususnya Islam, tradisi yang berlangsung di Dusun Sambiroto, khususnya di sekitar kawasan Bathok Bolu, sebagiannya bertentangan dengan ajaran Islam dan sebagian yang lain tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dari sekian banyak tradisi yang ada, dua tradisi yang akan peneliti kaji secara khusus dan lebih rinci, yakni tradisi ziarah di makam Bathok Bolu pada malam Selasa Kliwon dan malam Jum'at Kliwon dan tradisi Suran dalam rangka bersih dusun. Dua tradisi ini secara umum memiliki tujuan yang sarna, yakni mencari berkah dan melakukan persembahan dan permohonan kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan. Karena itu, tradisi ini sering juga disebut slametan (selamatan).
Islam yang merupakan agama yang lengkap dan sempuma sudah mengatur semua aktivitas terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya maupun dengan sesamanya. Dengan demikian, semua hal yang dilakukan oleh manusia sudah ada aturannya dalam Islam, termasuk dalam hal berziarah ke makam dan melakukan ritual-rituallainnya. Tradisi-tradisi ini dapat didekati dari kacamata aqidah (keimanan Islam) dan dari kacamata syariah(hukum Islam). Menurut aqidah Islam, ruh orang yang meninggalakan tetap hidup dan tinggal sementara di alam barzah atau alam kubur,sebagai alam antara antara alam dunia dan alam akhirat. Siapa pun akan memasuki alam barzah ini sebelum akhimya memasuki alam akhirat. Islam tidak mengajarkan bahwa ruh orang yang sudah meninggal berkeliaran di tempat tinggalnya atau di sekitanya yang masih dapat memberikan sesuatu kepada orang-orang yang masih hidup, terutama memberi berkah atau mengabulkan permintaan bagi yang memohon kepadanya. Karena itu, keyakinan masyarakat Jawa seperti itu jelas bertentangan dengan aqidah Islam. Apalagikeyakinan akan kemampuan ruh-ruh itu memberikan sesuatu kepada orang orang yang masih hidup jelas sekali bertentangan dengan ajaran tauhid yang mengajarkan keesaan Allah, terutama dalam hal memberikan pertolongan dan mengabulkan permintaan hamba-hamba- Nya. Melakukan permintaan kepada roh-roh seperti itu adalah perbuatan sia-sia yang bertentangan dengan ajaran tauhid, bahkan termasuk berbuatan syirik, yakni menyekutukan Allah dalam arti mengakui bahwa selain Allah ada yang dapat memberikan sesuatu (dalam hal ini pertolongan). Begitu juga keyakinan-keyakinan di sekitar makam suci, kramat, atau spiritual, yang sekarang memunculkan berbagai tradisi yang terus dipertahankan jelas bertentangan dengan aqidah Islam,khususnya ajaran tauhid.
Menurut Usman Raliby (dalam Muhammad Daud AIi, 2000:202-209) ajaran tauhid atau mengesakan Allah dapat dijabarkan menjadi tujuh ajaran tauhid, yaitu: I) mengakui Allah Maha Esa dalam Ozat-Nya, 2) mengakui Allah Maha Esa dalam sifat-sifat- Nya, 3) mengakui Allah Maha Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, 4) mengakui Allah Maha Esa dalam wujud-Nya,5) mengakui Allah Maha Esa dalam menerima ibadah, 6) mengakui Allah Maha Esadalam menerima hasrat dan hajat manusia, dan 7) mengakui Allah Maha Esa dalam memberi hukum. Ketujuh macam tauhid ini dapat ditemukan dasar-dasanya dalam al-Quran. Dari ajaran tauhid yang ke-5 dan ke-6 dapat dipahami bahwa Allah sajalah yang berhak disembah dan menerima peribadatan. Hanya Allahlah yang harus disembah oleh manusia dan hanya kepada-Nyalah manusia memohon pertolongan. Jika manusia hendak menyampaikan maksud, permohonan, dan keinginannya, maka hendaknya langsung ditujukan kepada Allah dan tanpa melalui perantara atau media apa pun namanya. Konsekuensinya, setiap Muslim tidak memerlukan perantara, baik orang maupun rohnya, dalam menyampaikan hajat dan permintaan kepada Allah.
Dengan memperhatikan ajaran tauhid seperti di atas jelaslah bahwa tradisi mencari berkah dan mengajukan permohonan dan keinginan kepada Tuhan melalui ritual-ritual yang dilakukan dalamziarah ke makam Bathok Bolu bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun dalam tradisi Suran dapat dirinci menjadi dua bagian, yaitu bagian yang bersifat ritual yang masih sejalan dengan ajaran  Islam dan bagian yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Kelompok ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran tauhid seperti tradisi ziarah di atas, misalnya acara mencari berkah melalui ritual:
I) minum air suci yang diambil dari Sendang Ayu dengan keyakinan tertentu, 2) bersemedi di makam Ki Demang Ranupati dan Yang Guru serta di Kraton Jin untuk mendapatkan berkah, dan 3) melakukan Kirab yang tujuan akhinya untuk melakukan persembahan kepada Tuhan (Allah) dan mendapatkan berkah. Tradisi-tradisi ini sebenanya adalah warisan tradisi Hindu-Jawa dalam rangka bersih dusun yang diselingi ritual-ritual keislaman,misalnya dalam melakukan pujian-pujian kepada Allah dan berdoa kepada- Nya.
Kelompok ritual yang pertama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam adalah acara-acara tambahan yang belum lama dilaksanakan. Acara ritual-ritual selingan ini misalnya tradisi slametan yang dikemas dalam bentuk bacaankalimahthayyibahpuji tahli! atau yang sering disebut tahlilan yang menurut pengamatan peneliti memang tidak memasukkan ritual yang menyimpangdari ajaran Islam. Ritual yang lain adalah mujahadah dengan membaca bacaan surat al-Fatihah, shalawat Nabi, Asmaul Husna, dan permohonandoa kepada Allah yang dipimpin oleh seorang ulama terkenaI di Yogyakarta yang kemudian ditutup dengan ceramah dakwah (pengajian) Islam. Ritual-ritual ini jelas tidak bertentangan dengan ajaran Islam ketika diniatkan dengan ikhlas dan tidak dibarengidenganniatan-niatanyang salah. Dari kacamata syariah Islam tradisi-tradisi seperti itu, khususnya ritual-ritual yang dalam kacamata aqidah tidak bertentangan dengan ajaran Islam, masih debatable, dalam arti masih diperdebatkanboleh tidaknya untuk dilaksanakan. Sebagian ulama menganggaphal itu sebagai bentuk bid'ah, yakni hal-hal barn yang dilarang oleh agama untuk dilaksanakan, karena tidak ada landasannyayang pasti dari al-Quran dan hadits Nabi Muhammad  SAW. Sebagian ulama juga ada yang membolehkan hal itu.
Inti Sari Nilai Upacara Bathok Bolu, adalah mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Arti kata Bathok Bolu adalah Bathok (Tempurung dalam Bahasa Indonesia, bathok dalam bahasa Jawa), sedangkan Bolu adalah (Bolong telu dalam bahasa Jawa, Lubang tiga dalam Bahasa Indonesia).
Upacara Bathok Bolu dapat digambarkan sebagai bathok kelapa yang melukiskan hidup manusia secara filsafat dan hakikat serta mistis. Yakni:
Cikal (calon)atau tunas, yaitu bakal pohon kelapa yang masih kecil. Yakni umur manusia ketika masih kanak-kanak  belum sempurna,
Glugu, artinya manusia kecil biasanya bertindak masih lugu dan tidak pernah bohong, polos pemikirannya. Maksudnya manusia harus bertindak jujur, lurus seperti glugu (pohon kelapa).
Tataran, yaitu tangga yang di buat pada batang kelapa untuk memudahkan seseorang memanjatnya. Maksudnya, hidup manusia itu hendaknya di awali dari tahap demi tahap. Dalam meraih segala ngelmu, diperlukan laku dan proses.
Tapas,yaitu pembungkus calon buah kelapa. Maksudnya, manusia harus mau di tata yang pas dan selaras.
Mancung, yaitu kuncup bunga kelapa maksudnya manusia hendaknya selalu mengacungkan diri dalam hal kebaikan, harus menggantungkan cita-cita setinggi langit.
Manggar, yaitu bunga kelapa, maksudnya hidup seharusnya di anggar-anggar  atau di pertimbangkan masak-masak.
Bluluk, buah kelapa kecil maksudnya hidup seharusnya balbul (mengepul-kepul) dengan keluk (asap), hidup harus senang membakar kemenyan sebagai sarana bertemu dengan Tuhan.
Cengkir, buah kelapa muda. Maksudnya hidup harus kuat pemikirannya (kenceng ing pikir)
Degan, kelapa muda. Maksudnya hidup harus bisa mendapatkan gegantilaning ati (buah hati), yaitu Tuhan.
Sepet, pembungkus kelapa. Maksudnya manusia hidup hidup harus berani menghadapi sepete kehidupan (pahitnya kehidupan).
Janur, daun kelapa muda berwarna kuning. Maksudnya, hidup harus selalu mencari cahaya kuning, yaitu nur ilahi.
Nilai yang terkandung dalam upacara ini :
a. Nilai luhur kebersamaan dan gotongroyong.
Bahwa dalam pelaksanaan upacara adat dilakukan secara bersama-­sama tidak memandang pada agama maupun pranata sosial seluruh masyarakat sambiroto dan sekitarnya sebagai perwujudan kekerabatan persatuan dan kesatuan antara arga tanpa memperdulikan dengan suatu maksud dalam pemahaman kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Nilai luhur kepribadian dan kepercayaan diri
Bahwa dengan melaksanakan upacara ini masyarakat sambiroto merasa yakin akan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan akan mengabulkan segala permohonannya. Para pelaku upacara mempunyai semangat tinggi dan kepribadian yang mantap dan kuat untuk melabuhkan sosial naluri yang tertanam dalam kancah budaya spiritual.
c. Nilai luhur ketauladanan
Bahwa dengan melaksanakan upacara tersebut akan memberikan suri tauladan dan pewarisan nilai luhur budaya daerah kepada generasi muda dan masyarakat yang nantinya mampu menyerap, mengamalkan dan selanjutnya melestarikan
d. Nilai luhur kepasrahan
Bahwa melaksanakan upacara adat adalah wujud dari kepasrahan kepada Tuhan Yang Esa, tasyakur atas rahmat yang telah dilimpahkan kepada kita semua dengan rasa handarbeni dan melestarikan budaya berarti akan mewariskan kepada generasi selanjutnya.
e. Tokoh Bathok Bolu, TugiransekdesPoromartaniKalasan.
Hal hal yang diwariskan adalah untuk mengenang kepasrahan seseorang dalam menyatukan sarana meditasi kraton kajiman alas ketangga, sambiroto dan dijadikan tempat yang sakral yang dapat menyatakan rasa syukur kepada Yang maha Kuasa "Nyawijekke Rasa Pangrasa Anggayuh Nugrahaning Gusti”, sehingga masyarakat apabila tidak melaksanakan upacara tersebut dikhawatirkan akan mendapat bencana atau mara bahaya dengan yang bersemayam di kraton kajimanbathok bolu alas ketangga.


Nguras Enceh


Nguras enceh adalah tradisi ritual tahunan setiap hari jum’atkliwon atau selasakliwon pada sura, penanggalan Jawa. Ritual ini berupa membersihkan gentong yang berada di makam raja-raja Jawa di Imogiri , Bantul , Yogyakarta. Tradisi ini dimaknai sebagai upaya membersihkan diri dan hati dari berbagai hal kotor.

Tradisi nguras enceh berlangsung sejak 400 tahun yang lalu pada saat pemerintahan Sultan Agung Hanyakakusuma. Empat gentong besar itu bernama Kyai Danumurti, Kyai Danujaya, Kyai Ngerum dan Kyai Siam. Ada 100 abdi dalem punokawan kraton Yogyakarta yang membersihkan dan memberikan air cucian kepada masyarakat di dua genthong besar disisi kanan pintu makam, yaitu Kyai Danumurti serta Kyai Danujaya. Sedangkan ada 70 abdi dalem punokawankasunanan Surakarta bertugas mencuci dan memberikan air cucian kepada masyarakat pada dua genthong di sisi kiri pintu makam yaitu Kyai Ngerum dan Kyai Siam. Empat genthong yang terletak di kanan dan kiri pintu makam itu adalah pemberian negara-negara taklukan kerajaan Mataram. Genthong Kyai Danumurti hadiah dari kerajaan Sriwijaya. Genthong Kyai Danujaya pemberian kerajaan Aceh. Genthong Kyai Ngerum adalah pemberian kerajaan Roma (Eropa) dan genthong Kyai Siam pemberian kerajaan Thailand. 

Bagi masyarakat yang percaya, air kurasan tersebut mampu sebagai media tolak bala dan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Terlepas dari hal tersebut, setiap tahunnya tradisi nguras enceh itu tetap dilaksanakan karena sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur, pelestarian budaya dan nilai heritage yang masih kental dalam masyarakat Jawa. Tradisi ini juga dimaknai sebagai upaya membersihkan diri dan hati dari berbagai hal kotor.
Enceh enceh yang dikuras oleh kerabat Keraton Jogja tiap setahun sekali pada bulan Suro ini berjumlah empat yaitu:
- Enceh Kyai Danumaya dari Kerajaan Palembang
- Enceh Kyai Danumurti dari Kerajaan Aceh
- Enceh Kyai Mendung dari Kerajaan Ngerum, Turki
- Enceh Nyai Siyem dari Kerajaan Siam, Thailand

Tradisi tahunan ramai didatangi warga yang berharap berkah atau sekadar menyaksikan prosesi pengurasan keempat gentong tersebut. Rangkaian acara yang juga  agenda wisata Pemprov Jogja yang tak boleh dilewatkan ini adalah:
- mengarak siwur atau gayung dengan tangkai kayu dan kepalanya berupa batok kelapa.
- pembukaan acara
- tahlilan, wilujengan, dan doa
- pengalungan untaian bunga ke empat enceh
- pengambilan air oleh abdi dalem berpangkat tumenggung atau ngabehi
- pengambilan air cidukan oleh abdi dalem bersama warga
- pembagian air enceh untuk warga
Nguras Enceh selalu diserbu oleh warga dan wisatawan karena tradisi unik dan sarat makna dan menunjukkan kebersamaan sekaligus pesta rakyat atas limpahan rezeki di tanah Jawa. Kalau ingin mengikuti prosesi nguras enceh yang setiap tahunnya dilakukan pada hari Jumat Kliwon di bulan Suro/Muharam, kalian dapat mengarahkan kendaraan ke kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri melalui jalan Imogiri Timur. Jika menggunakan transportasi umum, dari terminal Giwangan bisa menggunakan bus jurusan Jogja – Panggang atau Jogja – Petoyan.
Selesai mengikuti prosesi Nguras Enceh kalian bisa melanjukan untuk wisata kuliner dengan menu sate Klathak daging kambing yang banyak di jalan Imogiri Timur.


Kamis, 25 Februari 2016

Sekaten Jogja

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (KasultananNgayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.
Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan perlengkapan upacara sekaten, seperti :
1. Gamelan Sekaten

Adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan sekaten tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang karawitan dan disebut – sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau.
2. Gendhing Sekaten
Merupakan serangakaian lagu gendhing. Beberapa diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur – Aturpathet nem, Andhong – Andhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih, Orang – Aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet barang.
Selain itu juga terdapat perlengkapan – perlengkapan lainnya seperti uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam sekaten dan perlengkapan lainnya serta naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kenjeng Kyai Sekati dari tempat penyimpanannya. Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan pusaka tersebut yaitu prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.
Setelah waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah mendapat perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing rachikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Secara bergantian Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo dibunyikan. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan atau wakil Sri Sultan menaburkan udhik – udhik  (uang logam) di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas.
Tepat pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Gedhe dan dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid Gedhe dan Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut – turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai shalat Jum’at siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten dibawa kembali dari halaman Masjid Gedhe menuju Krato. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa Sekaten telah berakhir.

Acara puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Grebeg yang diadakan tanggal 12 mulai jam 08.00 WIB. Dengan dikawal oleh sepuluh bregodo / prajurit kraton yaitu Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrirejo, Surokarso dan Bugis. Grebeg menampilkan Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah – buahan, sayur – sayuran dan makanan. Telur merah ini sebagai simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. elur merah ini sebagai simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Perayaan sekaten diantaranya meliputi “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Jogjakarta dan ditutup dengan Grebeg.

Sekaten ini juga dibarengi dengan pasar malam yang memenuhi alun-alun utara. sangat ramai dan bisa buat jalanan jadi macet karena kebanyakan orang menuju kesitu.


Upacara Labuhan Merapi

Bagi masyarakat Yogyakarta, gunung Merapi bukanlah sekedar gunung tetapi  keberadaannya merupakan simbol sakral dan mistis kota ini dan bagi kehidupan masyarakatnya. Gunung Merapi tidak bisa lepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota Yogyakarta terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo, Panggung Krapyak, Karaton, Tugu Pal Putih, dan Gunung Merapi. Hal ini merupakan pembagian dari aspek Jagat Alit dan Jagat Ageng sehingga keberadaan Gunung Merapi tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya.
Meskipun Gunung Merapi menyimpan bahaya yang dasyat dan sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupan di sekitarnya namun sebagai bagian dari keseimbangan alam, Gunung Merapi juga memegang peranan penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya dan hal inilah yang sulit untuk dipisahkan. Keberadaan Gunung Merapi juga tidak terlepas dari keberadaan Islam Mataram di Jawa, khususnya hubungan antara 'penunggu' Merapi yaitu Kyai Sapu Jagad dengan lingkungan Keraton Jogja. Menurut cerita, raja pertama Kesultanan Mataram Islam, Sutawijaya mengadakan perjanjian dengan Kyai Sapu Jagad. Perjanjian tersebut berisi tentang kesediaan Sutawijaya dan keturunannya bertanggung jawab memberi sesaji dan sebagai imbalannya rakyat Mataram akan dilindungi dari bencana. Penyerahan sesaji ini diwujudkan dalam bentuk Upacara Labuhan Merapi yang diselenggarakan setahun sekali tanggal 25 bulan Bakdamulud (Maulid Akhir).

Upacara Labuhan Merapi selalu digelar masyarakat setempat dan Kesultanan Yogyakarta secara turun temurun tanpa mengurangi muatan sakralnya. Labuhan ini hanya boleh dilaksanakan atas perintah raja sebagai kepala pemerintahan, kepala kerajaan dan pemangku adat. Upacara Labuan Merapi dipimpin oleh juru kunci yang ditunjuk Keraton Yogyakarta. 
Labuhan berasal dari kata 'labuh' yang artinya persembahan. Upacara adat Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada karaton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Gunung Merapi. Upacara puncak labuhan diadakan di Gunung Merapi namun peyelenggaraan upacara adat ini juga biasanya diselenggarakan di tempat lain seperti di Pantai Parangkusumo, Gunung Lawu dan Kahyangan Dlepih.
Labuhan Merapi merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kesakralan upacara ini terletak pada pranata keraton yang harus dilakukan secara khusus, khidmat dan tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pranata keraton merupakan manifestasi budaya yang bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan.

Bagi warga Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi, ketika upacara adat ini diselenggarakan, ribuan warga akan berbondong-bondong menapaki setiap prosesi. Mereka berjalan mengiringi para abdi keraton dengan membawa benda-benda labuhan untuk diserahkan kepada leluhur mereka, yaitu Kyai Sapu Jagad.
Dengan berpakaian khas Yogyakarta, juru kunci dan semua abdi dalem keraton menjalankan semua prosesi Upacara Adat Labuhan Merapi. Rangkaian upacara Labuhan Merapi dimulai dengan penerimaan uba rampe (perlengkapan) labuhan dari Kraton Ngayogyakarta di Pendopo Kecamatan Cangkringan. Berikutnya dilanjutkan prosesi serah terima uba rampe labuhan dari pihak kraton kepada juru kunci Merapi. Prosesi uba rampe labuhan terdiri atas sembilan macam sesaji, yaitu: sinjang kawung, sinjangkawung kemplang, desthar daramuluk, desthar udaraga, semekan gadung mlati, semekan gadung, seswangen, arta tindih, dankampuh paleng. Kemudian uba rampe akan diarak menuju Gunung Merapi dan disemayamkan di rumah Juru Kunci Gunung Merapi.
Pada malam harinya bertempat di MusholaPelemsariHuntaraPlosokerep dilakukan kenduri wilujengan yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kemudian mereka berangkat menuju Masjid Kinahrejo dan ke lokasi bekas rumah almarhum Mbah Maridjan (Mantan Juru kunci Gunung Merapi) untuk melakukan malam renungan dan doa yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi diikuti para abdi dalem kraton dan warga.
Berikutnya, rombongan akan kembali ke huntaraPlosokerep, di sini rombongan dihibur kesenian uyon-uyon oleh paguyuban kesenian Desa Umbulharjo dan dilanjutkan pembacaan doa dan tahlil malam tirakatan yang dipimpin Juru Kunci Gunung Merapi dan para abdi dalem kraton. Prosesi Labuhan Merapi kemudian dilanjutkan perjalanan menuju Alas Bedengan sebagai lokasi Labuhan Merapi yang didahului dengan napak tilas di bekas rumah Mbah Maridjan. Berikutnya menjelang akhir, di Alas Bedengan Rampe Labuhan dari Sri Sultan Hamengkubuwono X  dibacakan alunan doa dan prosesi ini menjadi acara puncak sekaligus penutup Upacara Labuhan Merapi. Setelah prosesi selesai, kemudian rampe labuhan tersebut diperebutkan oleh masyarakat. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan salah satu dari Rampe Labuhan Sri Sultan Hamengkubuwono X maka mereka akan mendapatkan tidak hanya berkat tetapi juga keselamatan dalam hidup.