Pada
tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak
Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar
hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara
terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar
kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan
buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama
Sunan Kalijaga.
Setelah
mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun
untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain
itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan.
Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring
berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Demikian
pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan
Islam Mataram terbagi dua (KasultananNgayogyakarta dan Kasunanan Surakarta)
Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.
Sebelum
sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan yaitu fisik dan
spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan perlengkapan upacara
sekaten, seperti :
1. Gamelan
Sekaten
Adalah
benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang memiliki dua
perangkat yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan
sekaten tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang
karawitan dan disebut – sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang
pertama kali dibuat. Alat pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu
atau tanduk kerbau.
2. Gendhing
Sekaten
Merupakan
serangakaian lagu gendhing. Beberapa diantaranya yaitu Rambut pathet
lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur –
Aturpathet nem, Andhong – Andhong pathet lima, Rendheng pathet lima,
Jaumi pathet lima, Gliyung pathet lima, Salatun pathet nem,
Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih, Orang – Aring pathet nem,
Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet lima, Supiatun pathet
barang dan Srundeng Gosong pelog pathet barang.
Selain
itu juga terdapat perlengkapan – perlengkapan lainnya seperti uang logam, Bunga
Kanthil, busana seragam sekaten dan perlengkapan lainnya serta naskah riwayat
Nabi Muhammad SAW.
Untuk
persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum upacara sekaten. Para abdi
dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara
mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama
para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri
dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten
dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan
Kenjeng Kyai Sekati dari tempat penyimpanannya. Kanjeng Kyai Nogowilogo
ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di
Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan
pusaka tersebut yaitu prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.
Setelah
waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal memberikan laporan
kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah mendapat perintah dari
Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten
dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang
pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan
pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian Kanjeng Kyai
Nogowilogo dengan gendhing rachikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu.
Secara bergantian Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo
dibunyikan. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat
lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan
atau wakil Sri Sultan menaburkan udhik – udhik (uang logam) di depan
gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas.
Tepat
pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Gedhe dan
dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.
Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid
Gedhe dan Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura
Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng
Kyai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari
berturut – turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai shalat Jum’at siang
harinya.
Pada
tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid untuk
menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah
riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut
diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten
dibawa kembali dari halaman Masjid Gedhe menuju Krato. Pemindahan ini merupakan
tanda bahwa Sekaten telah berakhir.
Acara
puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Grebeg yang diadakan tanggal 12 mulai
jam 08.00 WIB. Dengan dikawal oleh sepuluh bregodo / prajurit kraton yaitu
Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung,
Mantrirejo, Surokarso dan Bugis. Grebeg menampilkan Gunungan sebagai acara
utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk kerucut. Terbuat dari beras
ketan, buah – buahan, sayur – sayuran dan makanan. Telur merah ini sebagai
simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut
merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah
Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika
dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. elur merah ini sebagai simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Perayaan sekaten diantaranya meliputi “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Jogjakarta dan ditutup dengan Grebeg.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. elur merah ini sebagai simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Perayaan sekaten diantaranya meliputi “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Jogjakarta dan ditutup dengan Grebeg.
Sekaten
ini juga dibarengi dengan pasar malam yang memenuhi alun-alun utara. sangat
ramai dan bisa buat jalanan jadi macet karena kebanyakan orang menuju kesitu.
0 komentar:
Posting Komentar