Kamis, 25 Februari 2016

Sekaten Jogja

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (KasultananNgayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.
Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan perlengkapan upacara sekaten, seperti :
1. Gamelan Sekaten

Adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan sekaten tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang karawitan dan disebut – sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau.
2. Gendhing Sekaten
Merupakan serangakaian lagu gendhing. Beberapa diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur – Aturpathet nem, Andhong – Andhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih, Orang – Aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet barang.
Selain itu juga terdapat perlengkapan – perlengkapan lainnya seperti uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam sekaten dan perlengkapan lainnya serta naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kenjeng Kyai Sekati dari tempat penyimpanannya. Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan pusaka tersebut yaitu prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.
Setelah waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah mendapat perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing rachikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Secara bergantian Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo dibunyikan. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan atau wakil Sri Sultan menaburkan udhik – udhik  (uang logam) di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas.
Tepat pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Gedhe dan dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid Gedhe dan Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut – turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai shalat Jum’at siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten dibawa kembali dari halaman Masjid Gedhe menuju Krato. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa Sekaten telah berakhir.

Acara puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Grebeg yang diadakan tanggal 12 mulai jam 08.00 WIB. Dengan dikawal oleh sepuluh bregodo / prajurit kraton yaitu Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrirejo, Surokarso dan Bugis. Grebeg menampilkan Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah – buahan, sayur – sayuran dan makanan. Telur merah ini sebagai simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. elur merah ini sebagai simbol permulaan kehidupan sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut merupakan simbol bahwa kehidupan di bumi ada porosnya yang tidak lain adalah Allah SWT. sedangkan kinang ini dipercaya bisa membuat orang awet muda jika dikunyah ketika gamelan berbunyi.
Makna dari gunungan tersebut yaitu melambangkan kesuburan dan kesejahteraan ada juga yang mengartikan bahwa makna dari gunungan tersebut adalah sebagai simbol kultural antara raja dan rakyatnya. yang mana raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya.
Perayaan sekaten diantaranya meliputi “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Jogjakarta dan ditutup dengan Grebeg.

Sekaten ini juga dibarengi dengan pasar malam yang memenuhi alun-alun utara. sangat ramai dan bisa buat jalanan jadi macet karena kebanyakan orang menuju kesitu.


0 komentar:

Posting Komentar